First Cerpen rekk :)
Kalo yg ini happy ending. Kalom terlalu lebay yaa maaf, kan masi belajar rekk :) no copas without permission yaa, happy read :)
Ini cerpen asli buatan saya kawankawan , tidak ada campur tangan orang lain , maav kalo jelek dan kepanjangen :) read and you will like it ! :)
“Nesaaa ! Awas yaah !” teriak vella dari dalam kantin. Sementara, aku terus berlari menghindari pukulannya yang pasti akan sangat menyakitkan.
“Duluan yaah. Dadahh!” balasku sambil terus berjalan kearah parkiran mobil.
“Ness, habis ini kita ada kelas lagi loh! Kamu mau kemana?” tanya nya lagi. Ahh, bawel nya sahabatku yang satu ini. Aku gak bakalan masuk kelas psikologi lagi. Cukup satu kali menjadi pengalaman yang sangat tidak mengenakan. Guru yang culun, pelajaran yang membosankan, suasana ruangan yang cukup panas karena ada Marshall, mantan kekasihku yang sampai saat ini masih mengejarku.
“Kabur lah, males banget. Mendingan ke mall. Bye!” Teriakku sambil membuka kunci mobil dan langsung menancap gas.
Jakartaaaaa! Ini salah satu hal yang menjadi ciri khas nya. Maceeet lagi, macet lagi. Boseen tauk! Aku nyalakan saja musik dan AC mobil ku untuk menghilangkan kejenuhan.
Tiiinntiiiiinnnntiinnnnnn! Klakson mobil belakang ini, udah tau macet kok tetep ajah sih? Jangan salahin aku dong! Kalo mau cepet, terbang aja sana! Aku membuka jendela mobilku, dan… MARSHALL ! Arrrrggghhh, mau menghindari malah ketemu lgi. Kok tau aja sih ni anak? Omelku dalam hati.
“Mau cepet? Terbang aja sana!” teriakku.
Tidak ada tanggapan. Dia tetap dengan sikap super sok cool dan jaim nya yang tingkat dewa itu! Ya tuhan, kenapa mesti aku di temuin sama cowo macem dia siih? Aku uda nggak suka sama kamu, shall. Gak usah ngejar-ngejar aku lagi laah. Ada yang lebih baik kok. Aku udah bosen kamu kejar-kejar terus. Risih tauk! Setiap saat kamu selalu SMS in aku, BBM-in aku. Dimana-mana ada kamu. Kamu terus! Dan, gara-gara kamu juga, aku nggak bisa dapetin pacar baruu. Gak enak tau, ngejomblo. Ya tuhan, lengkap sudah deritaku gara-gara dia. Begitu jalanan longgar, aku langsung tancap gas dan pergi sejauh-jauhnya dari dia.
Drrt, drrt, drrt, drrt. Getar dari ponselku. Tertera nama “Dady” di Caller ID nya. Argh, pasti akan ada ocehan panjang lebar dady, sahabatku sehari-hari. Sesungguhnya, jika dia bukan satu-satunya orang tuaku, demi tuhan aku tidak akan mengangkatnya. Tapi yaah, sudahlah. Tidak ada salahnya.
“Ya, dad? Ada apa?” kataku mengawali pembicaraan.
“Vannesa! Kamu dimana? Kamu kabur lagi kan dari kelas? Gimana kamu mau lulus tahun ini, kalo kamu kabur setiap kelas psikologi? Kamu membuat dady malu, ness!” benar kan, apa kataku. Dosen culun itu pasti lapor lagi ke dady kalo aku kabur dari kelasnya.
“Enggak, dad. Aku Cuma mau ambil buku yang ketinggalan. Nanti aku pasti balik kok.” Jawabku dengan alasan yang sangat tidak masuk akal. Aku bisa saja mnyuruh Pak Yon buat nganterin buku ke kampus. Tapi, aku bener-bener nggak punya alasan lain. Semoga dady percaya sama alasanku yang satu ini, dan berhenti dengan omelannya.
“Ya sudah, tapi kamu segera kembali, sebelum kelas berkhir. Dady nggak mau denger kamu bolos kelas psikolog. Dady donatur disana ness, mereka semua kenal dady. Jangan membuat dady kecewa yaa!” gerutunya lalu mengakhiri pembicaraan singkat kami.
Tak terasa, aku sudah sampai di mall pondok indah. Aku langsung saja memarkir mobil dan bergegas menuju ke dalam mall untuk shopping. Sudah 5 hari yaa, aku tidak ke sini. Pasti ada trend baru yang belum aku tau. Dan, sebagai cewek metropolis yang baik, aku harus lebih dulu up to date sebelum ada yang lain memakainya sebelum aku.
Mobil ini, sepertinya aku kenal. Siapa yaa? Astaga tuhan, hindarkan aku dari neraka dunia satu ini. Kenapa harus dia lagi sih? Kok dia tau ya, aku mau kesini? Dan, dia juga bolos kelas.
“Ness? Kamu kesini juga?” Sapa nya dari belakang, sambil mengikuti langkah kaki ku masuk kedalam mall.
“Menurut kamu?” jawabku. Huuh, liat sajaa. Kamu udah ngerusak hari ku, shall. Aku nggak akan ngebiarin kamu santai saja sementara aku sudah seperti orang kebakaran jenggot.
“Iyaa sih, yaudah bareng aku ajah!” balasnya. Jika aku ngga berniat ngerjain kamu sekarang ini, dengan yakin aku pasti jawab ENGGAK SHALL, MAKASIH. Tapi karna ada niat terselubung dibaliknya,
“Iya udah, ayoo. Aku Cuma mau shopping kok.” Jawabku sambil tersenyum jahat memandangi wajahnya yang polos seakan-akan tanpa dosa itu.
Kami memasukki mall bersama, berjalan bersama. Marshall sesekali mengajakku berbicara. Tapi aku hanya menjawabnya singkat sambil terus berpikir kejailan apa yang tepat untuk dia. Aha! Aku tau! Marshall kan paling sensitive kalo soal penampilan. Ini dia shall! Special for you! kataku dalam hati.
“Shall, aku laper nih. Kita makan dulu aja yah? Pliss...” pintaku.
“Tapi kan kamu belum belanja apa-apa ness? Kok udaa mau makan? Lagian, apa kamu nggak diet?” tolaknya halus. Kok kamu masi’ inget sih shall, kalo aku harus diet? Dan, kamu perhatian banget sma aku?
“Nggak, shall. Kita makan aja dulu baru shopping. Yaah? Ayoo dong?”
“Iya udah iyaa, ayoo.”
Kami naik escalator menuju lantai 4, tempat foodcourt. Marshall terus saja mengajak ku berbicara tentang ponakan nya yang baru datanglah, mobil barunya, dan bolosnya dia dari kelas. Tumben banget loh, dia bolos kelas. Apalagi kelas psikologi. Kelas yang paling dia sukai. Tapi kenapa yaa?
“Emang kenapa kamu bolos kelas? Tumben banget.” Tanyaku menyela pembicaraannya.
“Males aja, ness. Aku lagi bad mood. Nggak tau kenapa. Lagi pingin ke mall aja. Kalo kamu?”
“Hehe, biasalah. Vannesa masuk kelas psikologi itu sesuatu banget loh.”
“Hahaha, bisaa aja kamu ini ness.”
Akhirnya, kami sampai juga di lantai 4, dan Marshall langsung memesankan aku makanan. Kok kamu masi baik sama aku sih shall? Kamu masi kaya dulu, waktu kita pacaran. Nggak berubah sedikitpun. Aku inget, waktu kamu mau nembak aku juga di tempat ini. Waktu itu, aku masi sangat mencintaimu. Kamu segalanya buat aku.
Selalu kamu yang ada di pikiranku.Tapi itu dulu, sebelum aku sakit hati karena kamu. Kamu uda buat aku benci sama kamu, dan kamu nggak sedikitpun menunjukkan kalo kamu uda ngga cinta sama aku.
“Kamu pesan apa ness?” katanya membuyar kan lamunanku.
“Aku.. nasi goreng aja deh. Sama orange juice yaah.”
Nggak, Vannesa. Itu dulu. Sekarang semua uda berubah. Dia adalah laki-laki yang telah menyakitimu. Dia adalah masa lalumu. Kamu punya masa depan, yang tentu bukan sama dia. Kamu benci sama orang ini ness. BENCI, vannesa! Ahh, tapi kenapa sih, aku jadi pengen nangis ginii? Kenapa aku jadi mikirin masa-masa waktu aku masi pacaran sama dia. Itu indah banget, dan, nggak gampang di lupain. Kamu ngasi aku hal-hal yang ngga pernah aku dapetiin dari mantan-mantan ku sebelumnya. Seperti, cinta yang tulus. Dan…STOP! Berhenti memikirkan dia ness! BERHENTI!
Marshall duduk di sebelah ku, dan aku mencium bau ini… after shave cemaranya.. Aku yang dulu memilihkan parfum ini waktu kita mau valentine-an, shall. Kamu masih make parfum ini? Kamu nggak pernah berubah. Bau ini, tangan ini, rambutnya yang berantakan.. Semua ini dulu milikku. Aku yang memilihkan style seperti ini untuknya. Aku inget waktu awal-awal kita kenal, kamu masi culun banget. Dan aku yang merubah semua ini. Aku yang merubah Marshall menjadi seperti ini.
Tanpa dapat dibendung, air mataku menetes begitu deras mengingat semua yang telah aku lakukan bersama dia. Kenangan yang telah kita kita buat bersama shall. Ya tuhan, nggak vannesa. Cukup.
“Kamu kenapa ness? Kok nangis?” tanyanya lembut. Ya tuhan.Marshall, cukup shall. Kamu mengulang kembali kepedihan yang telah kamu timbulkan untukku. Suara ini yang pertamaaku dengar waktu kamu bilang kalo kamu sebenernya udah di jodohin sama cewe lain pilihan orang tua mu. Astaga! Tangis ku semakin menjadi-jadi dan tanpa terasa kepalaku jatuh di pundaknya. Dia memelukku.
“Aku.. Nggak, shall. Nggak papa kok. Cuma inget something aja.” Kataku pelan sambil menghapus air mata.
“Inget apa? Sakit banget yaa? Sampai-sampai kamu selalu inget.” Iya shall. Sakit banget. Dan kamu yang uda buat aku inget. Jawabku dalam hati.
“Hehe, nggak kok. Lupain aja.” Balasku tersenyum… palsu.
Dendam ku ke Marshall sebelum dia mengingatkan aku tentanf masalalu kita di foodcourt tadi, tiba-tiba ludes tak bersisa. Dan, niat jahatku buat jail ke dia dengan cara numpahin jus ke kaosnya, juga nggak masuk lagi ke otakku. Aku lupa semua tentang perasaan ku ke Marshall sebelum kita menghabiskan waktu makan siang bersama. Aku nggak tau jelas tentang perasaanku ke Marshall saat ini. Seharusnya, aku membencinya. Tapi, aku begitu merasa nyaman berada di sebelahnya.
Di mall siang itu, Marshall memunculkan kembali sensasi yang pernah dia berikan padaku saat kami masih bersama dulu. Rasa nyaman, bahagia, segalanya. Dan aku, seakan lupa bahwa 1 jam yang lalu, aku sangat membenci laki-laki ini. Menemani ku berbelanja, liat mode baru dari toko satu ke toko yang lain tanpa mengeluh, mengantarku manicure dan pedicure, cuci blow rambut di salon yang tentu lebih dari 1 jam. Tapi, saat aku menolehnya, dia hanya tersenyum membalas pandanganku.
Tanpa sadar, jam menunjukkan pukul 4 sore. Wow! Padahal aku memasukki mall ini jam 11 siang tadi, berapa jam sudah yang aku habiskan bersama dia yaa? Tapi, aku sama sekali tidak merasa bosan, malah aku merasa seneng banget bisa jalan sama dia. Tapi kok aku seneng yaa? Aku mulai bingung dengan apa yang aku rasakan sekarang ini. Apa aku sudah mulai bisa mencintai dia lagi? Apa rasa cinta ku yang dulu pada Marshall telah kembali? Mungkin iya, aku kembali mencintai Marshall atau memang rasa cinta itu nggak pernah hilang? Bahwa selama ini aku tetap mencintai Marshall? Pertanyaan ini membuat aku mengulas kembali.
Setiap pagi, aku selalu semangat ke kampus, entah kenapa. Aku hanya ingin bertemu dan menjaili Marshall. Hanya itu. Setelah aku bisa menjaili dia, aku selalu nggak semangat masuk kelas. Dan, pulang dari kampus, aku selalu setia nunggu sms dari dia, bbm dari dia. Satu hari aja Marshall nggak sms aku, aku udah bingung galau lau lau. Aku selalu berpikir mungkin dia sedang sibuk dan aku sendiri berusaha menyibukkan diri. Tidak mungkin ada wanita lain di hatinya, karna selama ini dia masih terus ngejar aku. Aku selalu tiba-tiba aja Badmood dan marah-marah nggak jelas kalo abis liat Marshall deket sama cewek lain. Atau mungkin aku cemburu?
Iya, aku menemukan jawabannya sekarang. Aku masih mencintai Marshall. Aku masih ingin merasakan kembali semua seperti dulu. I still love him like the time, we together defeat anything.
“Duduk sini dulu shall, aku capek.” Kataku sambil menunjuk tempat duduk di dekat gerai Teh Racek. Tanpa banyak kata, Marshall menurut saja dan langsung duduk di sampingku.
“Shal..” panggilku lembut sambil menoleh wajahnya yang mulai terlihat lesu. Tapi tetep ganteng kok.
“Hmm?” jawabnya sambil tersenyum menengok ke arahku.
“Do you will married with the girl that you said to me at the time?” tanyaku sambil menunjukkan wajah yang sedikit gelisah. Tapi, ini SERIUS!
“No. Dia udah married sama cowok pilihannya sendiri. Emang kenapa kamu tanya gtu ke aku ness?”
Ya tuhan! Vannesa! Apa kata dunia kalo kamu bilang perasaan mu yang sebenernya sama dia? Iya kalo bener dia masih cinta sama kamu, kalo ENGGAK? Mau taruh dimana muka mu ness? Terus, aku harus jawab apa sekarang? Apa? Aku nggak peduli apapun jawabannya, tapi aku harus bilang karena ini kenyataan nya. Iya, aku harus bilang. Tapi, enggak nes, enggak. Bukan sekarang!
“Just question. Forget it.” Balasku sambil acuh tak acuh.
“Mmm, ntar malem ada acara? Nge-date sama aku yaa?”
Spontanitasku menggila dan tanpa terkendali aku menjawab.. “IYAAA!”
*****
Malamnya, Marshall jemput aku. Awalnya, dady heran soal kembalinya kedekatanku sama Marshall. Soalnya, dady juga tau kabar terakhir putusnya aku sama Marshall. Dia cuma bisa geleng-geleng kepala.
Toktoktok.. pasti itu Marshall. Tapi, aku terlambat. Dady uda bukain pintunya duluan.
“Eh, Marshall. Masuk masuk.” Kata daddy mengawali pembicaraan diantara mereka.
“Iya om. Vannesa ada?”
“Ada kok. Emang mau kemana nih?”
“Ahh, daddy mau tau aja urusan anak muda. Aku pergi dulu yang dad, muaahhh.” Sahut ku lalu mencium pipi daddy langsung menarik tangan Marshall menuju mobil.
Aku memakai blouse ungu malam itu. Sempat bingung, mau ku apakan rambutku. Aku terbiasa dengan rambut yang di gerai. Tapi, kalo di pasangin sama blouse ini, nggak cocok sama rambutnya. Aku memutuskan untuk menguncit rambutku saja. Lalu, dengan make up yang tidak terlalu tebal. Entahlah, menurutku , tidak terlalu buruk. Aku sangat senang saat mendengar Marshall berkata, “Kamu cantik banget malem ini, ness. Beda dari hari biasanya.”
Hmm, aku serasa berada di langit ke tujuh saja saat Marshall berkata seperti itu. Sementara dia, keliatan elegan banget sama kaos putih nya, Jass hitamnya, dan jelana jeans hitam yang dipakainya. Keliatan banget kalo nggak terlalu formal, tapi tetep santai.
“Emang kita mau kemana sih shall?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Udah, jangan banyak tanya. Ntar juga kamu tau.”
Ya sudahlah. Aku nggak bakalan banyak tanya. Selama itu sama kamu, aku pasti bahagia kok, shall. Tapi, sayangnya kamu bukan punyaku. Kamu nggak bakalan pernah tau tentang perasaanku. Tapi, semua ini, cukup membuat aku merasakan bahwa dulu, kamu pernah menjadi milikku. Sekalipun itu dulu. Aku pengen tetep jadi punyamu kayak dulu, shall. Kenapa kamu nggak ngungkapin perasaanmu ke aku? Aku nggak bakalan nolak kok. Demi apapun. Aku bakalan mencintai kamu, tapi jangan ulangi nyakitin aku. Karena itu sangat menghancurkan aku, dan kamu nggak tau seberapa hancurnya aku saat itu. Aku ngerasa hari-hari ku kelam, karena aku harus sendiri, tanpa kamu.
Beberapa menit kemudian, Marshall mematikan mesin mobilnya. Dia berhenti di sebuah tempart yang nggak asing lagi buat aku. Dan ini…Danau tempat kamu pertama kali ngelamar aku, shall. Aku inget banget waktu itu. Aku juga pake blouse ini kan shall? Kamu juga pake jas itu dan, semua… persis seperti waktu itu. Air mata ku kembali menetes tak terkendali, hatiku terasa sakiiiit, mengingat semua kejadian itu.
“Vannesa, kok kamu nangis lagi?” tanyanya membuat ku salah tingkah sendiri.
“Hah? Oh, enggak, tiba-tiba aja aku inget mommy.” Jawabku berbohong. Disini, sekarang Cuma ada kamu sama aku. Kita berdua di tempat ini.
“Kamu inget, aku pernah tanya : will you marry me, Vannesa? Di tempat ini, persis seperti sekarang ini?”
“Ingat, sangat ingat. Itulah sebabnya aku nangis sekarang ini, shall. Aku ngerasain sakit yang kamu timbulkan dulu, juga indahnya kenangan yang kita buat di danau ini.”
“Izinin aku ngobatin luka mu yang dulu Yang aku buat dan mengulang kalimat ini : will you marry with me and we life together forever, Vannesa?”
“ Yes, I will.” Jawabku sambil meneteskan entah berapa liter air mata. Marshall langsung memelukku dan aku merasakan bermeter-meter kibik udara cinta yang sedang mengelilingi kami saat itu.
Aku merasa sangat bahagia saat itu. Tuhan, terima kasih, Kau telah mengizinkan aku kembali merasakan indahnya mencintai dan dicintai orang yang kita sayang melalui Marshall. Biarlah terus seperti ini yang ku rasakan sampai nanti ajal memisahkan kita, sayang. Because, I love you … :)
0 komentar:
Posting Komentar