This is my second cerpen ^^
Cerpen ini sad ending. Tentang sebuah keputusan yg sangat menyakitkan....... Entahlah. Apapun bentuknya ini asli buatan saya. Tidak ada campur tangan orang lain. Sumpaaaaah.. Happy Read guys :)
Dalam diam, aku memandangi wajah Rio yang fokus menyetir. Aku belum tahu jelas apa hubungan antara mereka. Sepertinya, mereka lebih dari sekedar teman. Cara Rio memandang wajah sofi, caranya mengecup, membelai rambutnya, mereka terlihat sangat akrab, hingga aku tak sanggup menahan air mataku. Tapi, saat aku menyanyakan hal itu pada Rio, dia mengelak. Dia malah mengganti topik pembicaraan.
Entahlah, apa yang disembunyikannya dibalik senyuman manis itu. Tidak, Rio tidak mungkin mengkhianatiku. Mungkin Sofi adalah sepupu Rio. Aku tidak boleh berfikir yang macam-macam. Rio mencintaiku. Aku tahu persis itu.
Rio memberhentikan mobilnya di sebuah warung sederhana langganan kami. Aku yang dari tadi sibuk memandangi wajahnya, kini langsung cepat menyadarkan diri, merapikan rambut dan segera turun, mengikuti langkah Rio masuk kedalam warung. Lagatnya sangat dingin, tidak seperti biasanya. Dia tidak lagi membukakan pintu untukku, ataupun mengajakku turun. Dia keluar begitu saja, seakan lupa bahwa masih ada aku didalam. Ahh, sudahlah, bukan hal yang luar biasa.
Didalam warung, aku merasa bahwa tidak ada yang istimewa diantara kami. Karna dia lebih tertarik membaca daftar menu, daripada berbicara denganku.
SHIT! Aku rindu dia yang kemarin.
Rio berubah, dia tidak seperti Rio-ku yang kukenal kemarin. Aku benci dia hari ini, dia yang dingin padaku.
"Kamu mau makan apa sayang?" tanyaku lembut. Jujur, ini adalah kata-kata pertama yang aku keluarkan dari awal dia menjemput aku dirumah tadi sore.
"Gini deh ya, gausah ke panjangan. Aku ngajak kamu kesini bukan buat makan. Tapi ada sesuatu yang lebih penting dari itu" jawabnya dingin.
"Apa ?"
"Aku minta maaf sebelumnya kalo ini nggak adil buat kamu."
"Hah ? Kok gitu ?"
"Sebenernya aku udah nggak cinta sama kamu. Aku uda pacaran sama Sofi. Bahkan kami akan segera melangsungkan pertunangan."
Aku tersedak. Tidak, ini mimpi. Rio tidak mungkin sekejam ini sama aku. Dia mencintaiku, aku juga mencintainya.
"Ma..ma..maksudnya ?"
"Iya ra, aku uda pacaran sama Sofi."
Aku nggak sanggup nahan air mataku. Mereka mengalir begitu saja tanpa bisa diajak kompromi. Aku memegang dadaku, berusaha agar Rio tidak mengetahui bahwa detak jantungku lebih cepat dari biasanya. Agar dia tidak mendengarnya. Sementara kepalaku menunduk. Mataku terpejam, aku merasakan nyeri menghajar dadaku habis-habisan. Nafasku seakan tertahan di tenggorokan. Aku tidak menyangka, begini caranya Rio membalas cintaku.
TIDAK!
Tidak semudah itu. Rio milikku. Tidak ada seorangpun yang boleh memilikinya selain aku. Aku mencintainya. Dan aku yakin, Rio tidak akan mencintai orang lain selain aku. Aku akan meyakinkannya bahwa aku mencintainya. Aku lebih bisa membuatnya bahagia lebih dari yang Sofi berikan. Aku akan mengeluarkan semua air mataku. Lalu, Rio akan tahu bahwa aku mencintainya lebih dari apapun di dunia ini. Semua mimpi buruk ini akan berakhir. Rio akan kembali memelukku. Membelai rambutku seperti biasanya dan dia akan mengecup ringan bibirku, dan semua akan kembali seperti biasanya.
Oke, sepertinya berlebihan.
Dia tidak sedikitpun menunjukkan bvahwa dia akan kembali mencintaiku sperti kemarin. Perlahan aku menatap wajahnya lemah, mengumpulkan kata-kata yang tepat.
"Kenapa? Kenapa harus kayak gini? Aku cinta kamu, Rio.." aku kembali meneteskan air mata. Memegang dada, mengumpulkan kekuatan, dan kembali melanjutkan, " I thought you love me too.."
"Arra, please. Don't do it again. Jangan nangis dulu. Maafkan aku. Aku ga bisa Ra, aku ga bisa mencintai kamu seperti dulu." jawabnya mendesah pelan.
Demi Tuhan, hentikan drama menakutkan ini. Aku tak sanggup lagi. Air mataku terus berjatuhan tanpa dapat kutahan. Aku benci ini terjadi.
"Don't leave me like this, Rio.." kataku sambil memohon dan meneteskan air mata. Bukan karna aku ingin melihat Rio mengasihaniku, tapi itu murni, karna aku merasa sakit yang luar biasa melanda hatiku.
Sungguh, aku akan mengingat setiap detik yang terjadi di tempat ini. Semua kata-kata rio, dan bahkan per tetes air mataku.
Saat aku mendongakkan wajahku kembali, aku melihat Rio tersenyum. Ya Tuhan, tolong. Jangan perlihatkan lagi senyuman itu di depan mataku. Senyum itu kini bukan milikku lagi. Dan dia, bukan untukku lagi.
Aku kembali menangis.
"Sekali lagi maafin aku, Ra. Aku bener-bener ga bisa. Aku mungkin bisa kembali ke kamu. Tapi hanya sebatas itu saja, bukan atas nama cinta." jelasnya lagi.
"Secepat ini," jawabku singkat, "aku nggak nyangka, 1 tahun yang kita jalani ini ga ada arti apa-apa buat kamu." lanjutku.
Wajahnya menunjukkan wajah yang seakan-akan menyesali apa yang baru saja dia katakan. Menunduk. Dia tidak berani melihatkannya padaku.
"Kita udah 1 tahun, io. Dan 1 tahun itu bukan waktu yang singkat buat aku, utamanya." cerocosku.
Aku dangan segala ilmu yang aku miliki berusah untuk tetap mempertahankan hubungan ini. Aku tidak akan kehilangan Rio semudah ini. Dia tidak akan pernah bisa lolos dariku.
"Hei, lihat aku," kataku sambil mangangkat dagunya agar dia bisa melihatku. "jangan pernah mengkhianatiku. Terpikir sedikitpun jangan. Aku tidak akan membagimu untuk siapapun. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu. Harusnya kamu tahu itu!"
"Arra, please! Kamu harus belajar terima kenyataan. Semua udah berakhir."
Aku menggeleng depresi. Kali ini, aku menyerah. Aku tidak sanggup mencerna kalimat terakhir dia kata-kata Rio tadi.
"Kenapa? Karna kamu sudah tidak mencintaiku? Karna kamu sudah bersama Sofi? Dan kalian akan segera bertunangan? Begitu? IYA? Jadi, apa artinya aku selama ini buat kamu, io? APA?" sentakku. "Ayo jawab, APA?!"
Aku seperti kehilangan kendali diriku. Aku lupa bahwa aku perempuan, aku lupa bahwa aku sedang berada di tempat umum, aku bahkan tidak menyadari bahwa semua orang memperhatikanku. Aku juga tidak lagi peduli dengan prinsipku : harga diriku lebih tinggi daripada monas. Yang aku rasa sakit. Semua mengalir begitu saja. Semua kata-kata itu terucap begitu saja.
"Arra! STOP!" bentaknya. "Kendalikan dirimu sendiri. Kenapa kamu kayak gini?"
"Karna aku mencintaimu, io." jawabku sambil menutup mata. "dan aku nggak mau kehilangan kamu."
"Semua udah berakhir, ra."
Aku diam. Tercekat. Kaget dan kecewa. Dia lalu menghampiriku. Memindahkan kursi disebelahku. Lalu dia memelukku. Sekali lagi, sakit melanda dadaku habis-habisan.
"Dengarkan aku. Aku tidak akan berubah. Aku akan tetap ada untukmu. Aku akan berusaha untuk menemanimu kemanapun kamu pergi. Tapi sebatas teman, bukan pacar."
Iya, aku mengerti! Tidak usah diulangi, ucapku dalam hati.
"Sudah ya, kita pulang yuk. Nggak enak dari tadi dilihati semua orang." bisiknya pelan.
Aku menurut saja. Aku berdiri menunduk, berusaha menutupi wajahku dengan rambut yang ku gerai panjang. Sementara Rio menopang tubuhku dengan memegangi bahuku. Aku berjalan lemah, masih tidak percaya bahwa semua telah terjadi.
Sampai di tempat parkiran, "Rio, kamu tau nggak?"
"Apa?"
"Jam segini uda nggak ada busway." kataku mendesah manja.
Dia tersenyum lalu berkata, "aku yang akan mengantarmu pulang."
**********
0 komentar:
Posting Komentar